CERITA RAKYAT DARI KABUPATEN MAJENE SULAWESI BARAT

ASAL MULA SANDO PEURI' REPPO' DI TANAH MANDAR (KAB. MAJENE)


Pernahkah kamu mengalami kecelakaan yang membuat tulangmu patah? Bila kamu dibawa ke rumah sakit maka kecelakaan seperti itu biasanya akan langsung ditangani oleh dokter dengan cara operasi yang membutuhkan waktu pengobatan hingga bulanan, tapi di Majene, Sulawesi Barat yang lazim dikenal dengan sebutan Tanah Mandar ada sebuah profesi yang bisa menangani kondisi patah tulang. Sebuah pengobatan alternatif yang dapat menyembuhkan kecelakaan yang berakibat tulang yang patah. Di Kabupaten Majene profesi dukun patah tulang dikenal dengan sebutan “Sando Peuri’ Reppo’.” Waktu penyembuhan hanya dalam hitungan hari, yakni 3 hingga 7 hari. Keahlian memijat dipadukan dengan penggunaan ramuan obat-obatan tradisional dan ilmu kebatinan merupakan kunci pengobatan dari Sando Peuri’ Reppo’. Dari berbagai jenis dukun yang ada di setiap daerah, jenis dukun yang satu ini merupakan profesi yang tersulit karena tidak mudah mempelajari cara pengobatannya. Biasanya seorang dukun ahli patah tulang atau Sando Peuri Reppo’ mendapatkan keahlian yang diturunkan dari pendahulunya bukan dari mempelajari dari seorang guru biasa.
Sando peuri’ reppo’ hingga kini hidup berdampingan dengan petugas medis dalam membantu pasien-pasien yang mengalami patah tulang. Keberadaan Dukun patah tulang bisa ditemukan hampir di seluruh daerah di Indonesia, tetapi dengan sebutan yang berbeda-beda. Bagaimana asal mula munculnya profesi Sando Peuri’ Reppo’ di Tanah Mandar, sebutan lazim untuk kabupaten Majene  di Provinsi Sulawawesi Barat ini tidak begitu banyak yang mengetahui. Bahkan tidak diduga ternyata yang berprofesi menjadi Sando Peuri’ Reppo’ yang pertama awalnya adalah seorang nelayan biasa.  Bagaimana bisa seorang nelayan biasa berubah profesi menjadi seorang dukun patah tulang atau Sando Peuri’ Reppo’? semua berawal dari sebuah pengalaman luar biasa dari seorang yang biasa-biasa saja seperti Kinnyo’.
Dahulu kala disebuah daerah pesisir pantai bernama Parappe di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, hiduplah seorang nelayan bernama Kinnyo’. Bersama seorang istri dan tiga orang anaknya, mereka hidup dengan penuh kesederhanaan dan bersahaja. Setiap harinya Kinnyo’ berlayar ke samudra luas untuk mencari nafkah demi menghidupi istri dan anak-anaknya. Walaupun hidup dalam kesederhanaan, Kinnyo’ selalu mengajarkan pada anaknya tentang rasa syukur dan sabar dalam menghadapi hidup, sehingga keluarga itu tampak sangat berbahagia dalam menjalani hidup mereka setiap harinya.
Karena tinggal dipesisir pantai, yang bekerja sebagai nelayan tidak hanya Kinnyo seorang. Kampung pesisir Parappe hampir semuanya berprofesi sebagai nelayan. Mereka saling bahu-membahu, bekerja sama dalam upaya mereka mencari ikan di laut demi kelangsungan hidup keluarga mereka masing-masing. Ketika nelayan yang satu menangkap banyak ikan, maka sebagian ikan yang ditangkapnya akan dibagikan kepada keluarga nelayan yang lain yang tidak seberuntung dirinya pada hari itu. Gotong-royong dan saling membantu sudah menjadi sebuah kebiasaan dan budaya masyarakat pesisir pantai itu. Bahkan ibu-ibu pun selalu saling membantu menyelesaikan pekerjaan suami-suami mereka serta membantu tetangga-tetangga mereka yang membutuhkan bantuan. Apalagi bila musim menangkap ikan teri tiba. Suasana akan begitu riuh ramai ketika nelayan-nelayan menangkap banyak ikan teri karena aktivitas saling berbagi ikan dan menjemur ikan bersama di pantai akan menjadi pemandangan sehari-hari di kampung nelayan ini.  Sangat membahagiakan bisa melihat setiap harinya mereka saling membantu menjemur ikan bersama-sama, memberi es pada ikan yang baru ditangkap, dan saling menolong dalam berbagai kegiatan adat dan acara keluarga. Masyarakat kala itu sangat harmonis dan damai.
Suatu hari Kinnyo’ berangkat melaut bersama beberapa tetangganya. Setiap nelayan memiliki perahu masing-masing. Tetapi mereka kadang berangkat bersama. Saling membangunkan satu sama lain ketika waktu untuk berangkat melaut tiba. Saling menolong mendorong perahu di pantai dan bercengkrama bersama pada saat hari masing gelap. Hari itu pukul 3 dini hari, ketika warga yang lain masih tertidur pulas, dengan penuh semangat Kinnyo’ berangkat menuju laut lepas. Istrinya yang sudah menyiapkan semua kebutuhannya selama berada di laut ikut membantu membawa perlengkapan dan bekalnya ke perahu. Anak-anaknya masih terlelap dalam mimpi indah mereka tanpa melihat ayahnya yang berangkat berjuang untuk kelangsungan hidup mereka. Setelah berpamitan dengan istrinya, Kinnyo naik ke atas perahu dan mulai mengecek barang-barang bawaannya yang akan dia butuhkan di laut lepas. Tiba di atas perahu Kinnyo sibuk mencari dayung yang akan dipakainya. Setelah beberapa lama tidak ditemukannya akhirnya tetangganya si Sappe yang juga  akan berangkat melaut menghampirinya dan bertanya apa gerakan yang sedang dicari Kinnyo sedari tadi.
“Kinnyo’, apa yang sedang kamu cari, sepertinya dari tadi kamu kebingungan?” tanya Sappe. “ini Sappe, sepertinya dayung saya ketinggalan di rumah. Karena terlalu terburu-buru berangkat tadi.” Kinnyo’ menjawab sambil meletakkan terus sibuk mencari ke semua sudut perahunya berharap ada terselip diantara barang-barang bawaannya yang lain. Cukup lama mencari sembari dibantu Sappe akhirnya keduanya menyerah, beberapa saat kemudian Kinnyo tiba-tiba tersadar kalau dayungnya ketinggalan di rumah.  “Akan saya ambil dulu di rumah” kata Kinnyo’ kemudian. “Tunggu, saya kebetulan bawa dua, bisa kamu pinjam, tapi ingat dayung ini dayung kesayangan saya, pemberian dari almarhum ayah saya, jaga baik-baik ya Kinnyo’” Sappe memberikan Kinnyo dayung sambil tersenyum. Betapa senangnya Kinnyo’, “terima kasih Sappe” jawabnya. Mereka pun bergegas mendorong perahu dan berlayar ke laut lepas.
Ditengah laut perahu nelayan yang lain sudah menunggu dari tadi, mereka pun mulai menangkap ikan, bebrapa diantaranya berlabuh di bagang, sebuah rumah apung yang sengaja dibuat di tengah laut untuk menjadi tempat nelayan menangkap ikan dan beristirahat bila lelah dan tempat berlindung saat terpanggang terik sinar matahari. Kinnyo’ tidak memiliki bagang, dia hanya seorang nelayan miskin, hanya berbekalkan perahu kecil yang disebut lepa-lepa. Bagang hanya dimiliki oleh nelayan-nelayan yang berkecukupan dan memiliki bawahan beberapa nelayan yang dipekerjakan untuk menangkap ikan dan hasil tangkapannya diserahkan kepada pemilik atasan nelayan mereka. Hasilnya akan dibagi setelah sang majikan mendapat bagiannya. Pagi itu cuaca tidak begitu mendukung. Beberapa saat setelah terombang-ambing dilautan, cuaca mulai memburuk. Tapi sayang Kinnyo hari itu tidak seberuntung teman-temannya yang lain. Tak seekor ikan pun yang dapat dia tangkap. Sedangkan temannya yang lain termasuk Sappe sudah memenuhi termos mereka dengan ikan yang banyak. Hingga setelah sekian lama para nelayan yang lain mulai satu-persatu pulang. Sappe pun demikian, dia mengajak Kinnyo untuk kembali kerumah. Tapi Kinnyo belum mendapat ikan seekor pun. “Kinnyo. Ayo kita pulang, sudah waktunya kita pulang, lagian cuaca sebentar lagi memburuk, lihat awan hitam mulai datang. Sebaiknya kita bergegas.” Kinnyo menggeleng “pulanglah duluan, aku belum dapat seekor pun ikan, aku akan disini beberapa waktu lagi.” Sappe tidak bisa membujuk Kinyo’ lebih lama lagi karena kawatir dengan badai yang akan segera datang. Walapun begitu kawatir untuk meninggalkan Kinnyo’ sendirian, Sappe akhirnya berlalu dengan perahunya. Kini tinggal Kinnyo seorang diri terombang-ambing dilautan berharap mendapat beberapa ekor ikan. Kekawatiran juga menelimuti pikiran Kinnyo’ tetapi harapan untuk bisa pulang ke rumah dengan membawa hasil tangkapan ikan untuk keluarganya yang tercinta membuatnya terus-menerus berusaha menyebar jala dan menariknya berharap ada beberapa ikan yang nyangkut di jalanya.  Tetapi benar kata Sappe awan hitam mulai datang, angin pun berhembus kencang, laut mulai bergejolak diterpa badai. Kinnyo berusaha bertahan menghadapi badai hanya seorang diri dan berbekal perahu kecil dan dayung saja. Dengan sekuat tenaga Kinnyo mendayung untuk bisa kembali ke pinggir pantai, menerjang hujan dan angin dengan sekuat tenaga hingga pantai mulai terlihat. Sedikit lagi aku bisa tiba di pantai, tiba-tiba “Kreekk” dayung yang dipakai Kinnyo patah. Kinnyo terkejut semakin  panik bergegas mendayung lagi dengan tangannya sekuat tenaga. Beruntung angin mendorong kuat ke arah pantai hingga akhirnya Kinnyo’ mampu menyandarkan perahunya di pantai.
Dalam hujan lebat dan kesedihan mendalam dibawanya dayung milik Sappe kembali ke rumah. Istriya sangat bahagia suaminya dapat pulang dengan selamat. Tetapi Kinnyo’ terlihat sangat sedih, diperhatikannya tangan suaminya yang membawa dayung yang patah? Walaupun terkejut dicobanya untuk menutupi perasaannya. “maaf hari ini kita tidak bisa menjual ikan bu, karena aku tidak menangkap seekor pun” kata Kinnyo dengan sedih. “tidak papa pak, yang penting bisa pulang dengan selamat” meskipun telah terhibur dengan kata-kata istrinya, Kinnyo masih terlihat sedih. “ada apa pak?” istrinya mulai khawatir, dia pun tidak mampu menyembunyikan tanda tanya dalam hatinya. “ini dayung Sappe yang bapak pinjam bu, bapak lupa bawa dayung. Sappe berpesan untuk menjaganya baik-baik karena ini pemberian ayahnya, tapi karena begegas mendayung akhirnya patah” Kinnyo berkata penuh penyesalan. istrinya mendekati, mencoba menenangkannya. “besok berikan saja dayung kita pada Sappe pak, semoga dia bisa mengerti, bapa istirahat dulu” Kinnyo mengangguk penuh harap dan mulai mencoba beristirahat. Istri Kinnyo’ memandang dayung Sappe yang patah dengan penuh kekawatiran. Sappe adalah sahabat baik suaminya, tetapi dia tahu betul perangai Sappe. Dia tidak suka bila ada yang mengusik miliknya apalagi merusak barang-barangnya. Apa yang akan terjadi besok? Tanda tanya mulai bergelayut dalam pikirannya. Semoga Yang Maha Kuasa memudahkan harapnya cemas.
Keesokan harinya, Kinnyo’ mendatangi rumah Sappe, membawa dayung Sappe yang patah dan dayung miliknya yang akan di berikan sebagai gantinya. Sappe sangat kecewa, diluar dugaan Sappe sangat marah, bahkan tidak mau menerima dayung Kinnyo sebagai ganti dayung miliknya yang dipatahkan Kinnyo’. “aku tidak mau menerima dayungmu sebagai ganti, aku mau dayungku. Kalo kamu benar-benar menyesal, kembalikan dayungku seperti semula. Aku hanya ingin dayungku saja, tidak yang lain” Sappe setengah berteriak penuh dengan kemarahan. Kinnyo tidak menyangka respon Sappe sampai separah itu. Semua waktu yang mereka habiskan bersama di lautan, saling bahu-membahu dalam mengerjakan apapun, semua kebaikan Kinnyo’ dan keluarganya seperti menguap begitu saja hilang ditelan kemarahannya pada Kinnyo’. Kekecewaan Sappe bisa dia pahami, tapi bagaiman caranya dayung yang patah bisa utuh kembali seperti semula? Kinnyo kembali ke rumah dengan penuh penyesalan. Istrinya menyambutnya dan menenangkannya. “sabar pak, wajar Sappe sangat kecewa, kita juga tidak mungkin bisa membuat dayung itu kembali utuh seperti semula, tapi percayalah Allah akan memberi kita jalan keluar. Besok kembali lah lagi ke rumah Sappe, semoga besok hatinya sudah sedikit tenang” kata istrinya berusaha menenangkan hatinya.
Keesokan harinya Kinnyo’ kembali ke rumah Sappe untuk meminta maaf dan menawarkan ganti rugi berupa sejumlah uang, tapi Sappe tetap menolak. Hampir setiap hari Kinnyo’ mengunjungi rumah Sappe untuk menawarkan berbagai cara untuk menggganti dayung Sappe yang patah. Sappe tetap teguh menginginkan dayungnya saja yang mustahil bagi Kinnyo’ untuk mengembalikannya.
Setiap hari Kinnyo’ kembali ke rumah dengan lesu dan kecewa. Istrinya hanya bisa menenangkannya. Kinnyo tidak tahu harus berbuat apa, terus- menerus merenung, bingung, dan gelisah. Hatinya terus-menerus memanjatkan doa memohon petunjuk Yang Maha Kuasa untuk masalah yang dihadapinya. Hingga suatu malam Kinnyo bermimpi dalam tidur nya. Dalam mimpinya Kinnyo’ bertemu dengan seorang kakek tua berpakain putih dan berjenggot putih. Dengan senyum berkata “Kinnyo, aku tahu kesulitan yang kamu alami saat ini, jangan khawatir, lakukan lah seperti yang aku katakan, ambil dayung itu, bungkuslah dengan kain kafan dan letakkan di atas tumpukan kayu di atas patu api (sebuah tempat mengeringkan kayu yang letaknya di atas tungku, hanya ada di jaman dahulu di kampung itu)  yang berada di dapurmu. Tunggu selama 7 hari, pada hari ke tujuh baru kamu bisa membukanya. Ingat tujuh hari. Lakukan persisi seperi yang aku katakan. In shaa Allah, masalahmu akan terselesaikan. Kamu juga bisa melakukannya pada yang lain” kata kakek itu tersenyum sambil berlalu. Belum sempat Kinnyo berkata sepatah kata pun pada kakek tersebut Kinnyo tiba-tiba terbangun. Dengan perasaan ragu Kinnyo membangunkan istrinya dan menceritakan mimpi yang baru saja dialaminya. Sang istri hanya bisa tersenyum dan berkata “mungkin ini petunjuk dan jalan yang diberikan Allah pada kita pak, lakukan saja. Semoga bapak berhasil” istrinya menyemangati.
Tanpa menunggu lebih lama lagi keesokan harinya Kinnyo langsung membeli kain kafan dan membalut dayung dengan kain tersebut. Setelah itu diletakkannya ditumpukan kayu di atas patu api. “bismillahirrahmanirrahim, semoga ini berhasil Ya Allah” Kinnyo dengan khusyuk berdoa penuh harap. Dipandanginya dayung patah yang telah terbungkus itu di atas patu api. Keraguan sempat menggelayuti pikirannya, tetapi ditepisnya seketika. Dari pada tidak berbuat apa-apa tidak ada salahnya bila mencoba petunjuk kakek tua dalam mimpinya. Setiap hari djalaninya dengan harap-harap cemas. Doanya terus-menerus menemani tidurnya. Setia kali ia mengingat wajah Sappe yang marah pikirannya makin kalut, lalu kembali doa-doa dipanjatkannya untuk menenangkan hati dan pikirannya.  Hari berlalu dengan cepat, akhirnya hari ke tujuh tiba, dengan penuh harap si Kinnyo’ pun pelan-pelan membuka kain kafan yang membalut dayung tersebut. Tidak mampu melihat hasil dari usahanya, dipejamkannya matanya sambil berucap “bismillahirrahmanirrahim” balutan dayung pun terbuka. Hal yang mengejutkan pun terjadi, dayung yang semula patah benar-benar kembali utuh seperti sedia kala seperti tidak pernah patah. Betapa bahagianya Kinnyo melihat dayung itu. terbayang wajah Sappe yang akan sangat bahagia melihat dayungnya utuh kembali. Bergegas dia membawanya ke rumah Sappe yang masih terlihat kesal padanya. Tapi setelah melihat dayungnya yang kembali utuh, Sappe benar-benar girang bukan kepalang. Bahagia bercampur terkejut melihat dayungnya yang tampak sempurna seperti sedia kala. Dipeluknya sahabatnya itu dengan penuh suka cita. Memohon maaf atas perbuatannya yang memaksa Kinnyo untuk melakukan hal yang mustahil untuknya. Hubungan pertemanan mereka pun akhirnya membaik kembali. Sappe keheranan memandangi dayungnya yang tanpa cacat sedikit pun. Tidak ada tanda-tanda dayung itu disambung atau pun dipaku. Apa yang terjadi? Semakin memikirkannya Sappe semakin bingung. Dimintaya Kinnyo menceritakan apa yang telah terjadi. Kinnyo hanya tersenyum memandagi Sappe yang sangat penasaran dengan apa yang telah dia lakukan untuk mengembalikan dayung kesayangannya. Walaupun didesak Kinnyo’ tetap tidak mau menceritakan apa yang terjadi. Dia berharap keberuntungan yang dimilikinya hari itu hanya menjadi rahasia antara dia da istrinya saja. Ia berharap tidak semoga tidak ada bencana berikutnya lagi yang akan membuatnya melakukan aksi coba-coba untuk yang kedua kalinya. Bagus kalo berhasil bila tidak? Kinnyo’ hanya terdiam membisu menatap Sappe yang terus membujuknya menceritakan pengalaman luar biasa yang tanpa diduganya akan  merubah nasibnya di masa mendatang.
Hari berganti hari, kejadian itu pun terlupakan, hingga satu hari Sappe yang berlayar untuk menangkap ikan seperti biasanya mendapat kecelakaan di tengah lautan. Tulang kakinya patah. Akhirnya dia harus dirawat berhari-hari dirumah. Istrinya yang sedih mengingat keadaan suaminya yang kini terbaring tak berdaya tidak mampu menghidupi keluarganya karena tulang kakinya yang patah. Suatu hari berita sakitnya Sappe terdengar oleh istri Kinnyo yang sedang ikut menjemur ikan bersama tetangga yang lain. Dia pun iba dan menceritakan kejadian naas yang menimpa Sappe kepada suaminya. Kinnyo’ mendengar cerita itu segera berlari menuju rumah Sappe untuk menjenguknya. Betapa sedihnya ia karena Sappe harus terbaring lemah di kamar dan hanya bisa dirawat oleh istrinya. Tiba-tiba Kinnyo teringat dengan pesan kakek tua itu “kamu juga bisa melakukannya pada yang lain”. Mungkinkah kata “yang lain” itu manusia?? dia pun memberi ide kepada Sappe dan istrinya. Keduanya pasrah. berharap Kinnyo’ bisa melakukan apa saja asal Sappe sembuh. Mulailah Kinnyo membalut kaki Sappe dengan kain kafan dan berpesan jangan membukanya hingga hari ke tujuh.
Pada hari ke tujuh Kinnyo pun kembali ke rumah Sappe untuk melihat hasil dari pengobatan yang dilakukannya. Dengan perasaan tegang Kinnyo membuka kain kafan yang membalut kaki Sappe. Diluar dugaan keajaiban benar-benar terjadi. Setelah meminta Sappe mengggerakkan kakinya, ternyata kaki Sappe membaik seperti semula. Betapa bahagianya Kinnyo’ dan Sappe. Sappe yang begitu bangga pada Kinnyo akhirnya menyebarkan berita itu ke tetangga yang lain. Seiring waktu berjalan, Kinnyo akhirnya mulai menekuni keahlian barunya menjadi seorang dukun patah tulang atau di tanah mandar kita kenal dengan sebutan sando peuri’ reppo’. Setiap hari dia belajar tentang ramuan dan obat yang cocok untuk pengobatannya. Hingga akhirnya dia selalu diminta untuk mengobati penyakit orang-orang disekitarnya yang berhubungan dengan patah tulang.
Sering waktu berjalan Kinnyo akhirnya selalu diminta untuk mengobati penyakit orang-orang disekitarnya yang berhubungan dengan patah tulang.
Akhirnya si Kinnyo menjadi seorang dukun patah tulang yang cukup dikenal di daerah Mandar kala itu. Kemampuan Kinnyo pun tersebar keseluruh daerah. Keahliannya mengobati tulang yang patah pun diwariskannya ke anak cucunya yang hingga kini yang berprofesi menjadi sando peuri’ Reppo’.
Inilah kisah asal mula Sando peuri’ Reppo’ di Parappe. Daerah pesisir pantai di Kabupaten Majene, Provinsi Sulawsi Barat. Akan ada waktu yang tepat dimana setiap kesungguhan, usaha, dan doa akan menemukan keberhasilan. Hal inilah yang terjadi pada Kinnyo’. Keihlasan hati Kinnyo’ menerima cobaan dari Yang Maha Kuasa dan kebaikan hatinya membuatnya mendapatkan kehidupan yang baru dan lebih bermanfaat bagi orang sekitarnya.
Pada era modern saat ini keberadaan dukun patah tulang yang benar-benar ahli dalam pengobatannya sudah sulit dijumpai. Dukun patah tulang merupakan alternatif bila masyarakat sulit menjangkau pusat pelayanan medis. Dalam perkembangannya, yang mewarisi keahlian sando Peru’ Reppo’ sudah mengkawatirkan, karena ada beberapa diantaranya hanyalah menjadi dukun yang coba-coba melakukan pengobatan, asal memijat sehingga merusak citra seorang sando Peuri’ Reppo’ yang sungguh-sungguh dan berdedikasi pada profesinya. Hal ini lah yang menyebabkan pengobatan mereka jarang dilirik lagi oleh masyarakat luas.
Tapi pada zaman nya, seorang Sando Peuri’ Reppo bernama Kinnyo’ telah menyelamatkan nyawa banyak orang dengan kesungguhan dan keahliannya. Menjadi tonggak awal dimulainya pengobatan patah tulang di Tanah Mandar. Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CARA MUDAH DAN CEPAT MENYELESAIKAN SOAL BAHASA INGGRIS (TO INFINITIVE)

MOVIE (THE MENTALIST) SUBTITLE INDONESIA

CARA MUDAH MEMAHAMI PENGGUNAAN ELIPTIC SENTENCE